Gue setiap pagi selalu deg-degan nungguin plottingan dari redaktur kemana gue harus ngeliput hari itu. Jujur, gue nggak begitu suka kalau disuruh ngeliput ala deception. Gue nggak suka karena harus ngeliput sendirian tanpa ada wartawan-wartawan dari media lain. Walaupun udah biasa sendiri, tapi gue tetep nggak suka dengan kesendirian ini (?). Tapi emang sih begitu berita tersebut publish, gue puas ngeliat hitsnya yang tinggi.
Gue masih bersyukur karena selama ini gue liputan "deception" ke rumah-rumah narasumber (walaupun narasumber utamanya sulit dijangkau). Temen gue ada yang ke kuburan artis yang udah meninggal sampe ke penjara tempat ditahannya artis yang udah lama banget ga terekspos.
Tapi kali ini, gue terkejut begitu pagi-pagi buka Whatsapp dan gue dapet plottingan deception ke rumah Eyang Subur! Memang dulu doi sempet heboh gara-gara kasusnya dengan Adi Bing Slamet dan Arya Wiguna. Tapi itu udah lama banget boooo. Malah gue sempet mikir si Eyang ini udah meninggal.
Mau nggak mau, gue berangkat ke rumah Eyang Subur di daerah Duri Kepa, Kebon Jeruk. Sedikit was-was karena yang gue tau dari berita-berita, Eyang Subur ini sakti dan istrinya banyak banget. Ngeri aja pas gue dateng ntar gue nggak bisa pulang lantaran dijadiin istri ke sekiannya beliau. *amit-amit*
Sebelum berangkat gue pamitan ke nenek gue, ke orang-orang rumah. Minta doa biar bisa kembali pulang dengan kondisi normal. Di jalan gue terus berdoa. Baca Al-Fatihah, Al-Ikhlas, An-Nas, dan Ayat Kursi.
Rumah Eyang Subur terletak di kompleks rumah-rumah yang lumayan kumuh. Penampilan rumahnya sendiri dari luar kayak rumah belom jadi. Tapi konon katanya, di dalam rumahnya banyak kristal dan barang-barang mewah.
Begitu sampe, gue ketemu sama asistennya Eyang Subur yang kebetulan lagi di depan rumah. Depan rumahnya kayak basement luas gitu yang dipisahkan oleh sebuah gang yang memang menjadi jalan umum warga sekitar.
Gue dibawa masuk menuju ruang tamunya Eyang Subur dengan melewati pintu rumahnya yang pendek. Kalo masuk situ harus nunduk dulu. Denger-denger sih itu sebagai simbol penghormatan ke si penghuni rumah. Denger-denger loh ya...
Begitu masuk ke ruang tamunya, langsung disambut oleh 4 buah patung berbentuk seperti ksatria membawa pedang. Auranya agak-agak serem. Tapi untungnya gue nggak penakut (?).
Gue disuruh ngisi buku tamu terlebih dahulu (Gaya banget ada buku tamunya). Kata asistennya, Eyang belum bisa ditemui saat itu. Karena beliau sedang "menenangkan pikiran" di kamar dan nggak tau keluarnya kapan. "Menteri aja ga bisa ketemu," katanya. Jadi, gue disuruh nyatet nomor telepon di buku tamu tersebut supaya sewaktu-waktu si Eyang keluar, dia bakal ngehubungin gue kalo memang Eyang Subur ngizinin wawancara.
Yaudahhh kecewalah gue nggak bisa ketemu si Eyang, padahal gue udah nyiapin list pertanyaan banyak. Sebenernya sedikit kecewa... sedikit... sedikit banget. Nggak mau nyerah dan pulang begitu aja, gue minta izin untuk wawancara istrinya. Gue juga udah nyiapin list pertanyaan untuk istri-istrinya yang entah ada berapa di rumah itu. Tapi ternyata nggak dibolehin juga sama asistennya. Kecewa lagi deh gue. Kali ini kecewa aja...
Masih belom nyerah, selain ngegali informasi dari asistennya, gue ngegali info dari orang yang berlalu-lalang di basement rumahnya. Fyi, di basement itu juga ada musholla milik Eyang Subur juga.
Gue solat di musholla tersebut dan duduk lama di teras musholla merhatiin situasi. Nggak lama gue sadar kok banyak banget yang keluar masuk rumah Eyang subur dari pintu yang satunya (pintu sebelahnya, bukan pintu masuk yang gue lewatin tadi). Siapa orang-orang ini? pas gue tanya salah satunya, dia ngaku sebagai "abdi-abdi"nya Eyang Subur. Dan ternyata di dalem rumah itu ada 55 orang!
Pulang liputan, gue tulislah semua info yang gue dapet. Seperti biasa, editor kantor gue nambah-nambahin background informasi tentang kasus-kasusnya Eyang Subur jaman dulu.
Begitu beritanya naik, besoknya ada telepon dari asistennya. Gue sedikit antusias. Sedikit loh... sedikit banget. Gue pikir si Eyang udah keluar kamar dan setuju gue wawancarain. Gue angkat itu telepon. Dan....
Asisten (A): Halo ini Mbak Nares ya? Mbak naikin berita tentang eyang ya?
Gue (G) : Iya pak. Kenapa ya?
A : Ati-ati loh mbak eyang ini sakti. Jangan sembarangan.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
JENG... JENG....!!! gue langsung inget kata-kata editor gue. Jadi, waktu itu abis liputan, gue balik ke kantor karena ada evaluasi. Begitu nyampe kantor gue ditanya sama editor gue, "Nares kamu tadi disuguhin apa di sana?" katanya.
"Ga disuguhin apa-apa mbak," gue jawab polos tanpa kecurigaan.
"Oh, syukur deh.."
"Emang kenapa mbak?" gue mulai curiga nih ada apa-apa.
Akhirnya editor gue cerita, "dulu ada reporter disuguhin minum pas ke rumahnya. Eh pulang-pulang dia kayak aneh gitu, kayak kerasukan. Terus besoknya beritanya naik, satu redaksi sakit semua."
*serrrr... bulu kuduk gue mulai saling berpelukan menenangkan diri satu sama lain*
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Halo mbak?
gue baru sadar lagi nelpon.
G : I.. iya pak.. terus gimana? beritanya udah naik.
A: Ya saya cuma ngingetin aja sih. Soalnya ngeri mbak. Saya udah denger tuh yang aneh-aneh. Wong dulu rumah sekitar habis terbakar, cuma rumahnya dia sendiri yang ga kena api. Eyang ini sakti mbak bukan orang sembarangan. Ati-ati loh mbak... bla.. bla.. bla...
Dia nyerocos terus ngomongin kesaktian si eyang. Mencoba mengintimidasi gue. Dan berhasil bikin gue sedikit panik. Sedikit.. Serius deh sedikit..
G: yaudah pak nanti saya bicarakan dulu dengan atasan saya bagaimana baiknya.
Gue langsung nutup telepon tersebut. Dan nge-chat atasan gue.
Belom juga dibales, si asisten udah nelepon gue lagi.
"Mbak, kalo bisa beritanya ditarik atau saya tuntut," kata asistennya.
Kali ini gue agak lega. Karena ancamannya tuntutan. Masih cara manusiawi. Dan gue yakin gue ga bersalah.
Abis gue tutup telepon keduanya, redaktur gue baru balas. Dia bilang, "biarin aja Nares, wartawan nggak boleh diintimidasi narasumber." Akhirnya redaktur gue nyeritain pengalaman dia yang puluhan kali ditelponin narasumber. Yang gue pikirkan adalah 'kalo narasumbernya ga pake ilmu gaib sih gapapa'
Redaktur gue ngeyakinin gue untuk jangan percaya takhayul dan selalu mengingat Allah.
Oke sip. Abis itu gue ambil wudhu. Tapi ga solat.
Gue malah main ke rumah Tasya. Dalam perjalanan ke rumah Tasya, ban gojek gue bocor.... JENG... JENG... #1 apakah ini sebuah ancaman?
Untungnya gue masih bisa nyampe ke rumah Tasya. Walaupun jalannya pelan.
Pas nyampe rumah Tasya, tiba-tiba ada telepon dari nomor ga dikenal.. JENG... JENG... #2 siapakah ini?
Gue sempet khawatir. Ngerinya, pas gue angkat yang diseberang telpon ngomong "Gimana peringatan pertama saya?" Lama ga gue angkat takut si Eyang yang nelpon kan. Akhirnya gue memberanikan diri untuk ngangkat telepon. Ternyata telepon dari bokap gue pake hp temennya.
Lega....
Keesokan harinya gue pulang liputan... dan ban gojek gue bocor lagi.. kali ini gue terpaksa turun tengah jalan... JENG JENG.. #3 apakah lagi-lagi ini pertanda?
Daaann... besoknya lagiii... ban gojek gue ga bocor tapi apakah Anda tau saudara saudaraaa siapa yang jadi abang gojek gueee?
JENG.... JENG... #4
Hingga JENG... JENG #4 Alhamdulillah aku ga kenapa-kenapa. Semoga jeng jengnya berakhir di #4 aja.
Ini cuma kebetulan aja kok. Yakin..
Gue solat di musholla tersebut dan duduk lama di teras musholla merhatiin situasi. Nggak lama gue sadar kok banyak banget yang keluar masuk rumah Eyang subur dari pintu yang satunya (pintu sebelahnya, bukan pintu masuk yang gue lewatin tadi). Siapa orang-orang ini? pas gue tanya salah satunya, dia ngaku sebagai "abdi-abdi"nya Eyang Subur. Dan ternyata di dalem rumah itu ada 55 orang!
Pulang liputan, gue tulislah semua info yang gue dapet. Seperti biasa, editor kantor gue nambah-nambahin background informasi tentang kasus-kasusnya Eyang Subur jaman dulu.
Begitu beritanya naik, besoknya ada telepon dari asistennya. Gue sedikit antusias. Sedikit loh... sedikit banget. Gue pikir si Eyang udah keluar kamar dan setuju gue wawancarain. Gue angkat itu telepon. Dan....
Asisten (A): Halo ini Mbak Nares ya? Mbak naikin berita tentang eyang ya?
Gue (G) : Iya pak. Kenapa ya?
A : Ati-ati loh mbak eyang ini sakti. Jangan sembarangan.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
JENG... JENG....!!! gue langsung inget kata-kata editor gue. Jadi, waktu itu abis liputan, gue balik ke kantor karena ada evaluasi. Begitu nyampe kantor gue ditanya sama editor gue, "Nares kamu tadi disuguhin apa di sana?" katanya.
"Ga disuguhin apa-apa mbak," gue jawab polos tanpa kecurigaan.
"Oh, syukur deh.."
"Emang kenapa mbak?" gue mulai curiga nih ada apa-apa.
Akhirnya editor gue cerita, "dulu ada reporter disuguhin minum pas ke rumahnya. Eh pulang-pulang dia kayak aneh gitu, kayak kerasukan. Terus besoknya beritanya naik, satu redaksi sakit semua."
*serrrr... bulu kuduk gue mulai saling berpelukan menenangkan diri satu sama lain*
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Halo mbak?
gue baru sadar lagi nelpon.
G : I.. iya pak.. terus gimana? beritanya udah naik.
A: Ya saya cuma ngingetin aja sih. Soalnya ngeri mbak. Saya udah denger tuh yang aneh-aneh. Wong dulu rumah sekitar habis terbakar, cuma rumahnya dia sendiri yang ga kena api. Eyang ini sakti mbak bukan orang sembarangan. Ati-ati loh mbak... bla.. bla.. bla...
Dia nyerocos terus ngomongin kesaktian si eyang. Mencoba mengintimidasi gue. Dan berhasil bikin gue sedikit panik. Sedikit.. Serius deh sedikit..
G: yaudah pak nanti saya bicarakan dulu dengan atasan saya bagaimana baiknya.
Gue langsung nutup telepon tersebut. Dan nge-chat atasan gue.
Belom juga dibales, si asisten udah nelepon gue lagi.
"Mbak, kalo bisa beritanya ditarik atau saya tuntut," kata asistennya.
Kali ini gue agak lega. Karena ancamannya tuntutan. Masih cara manusiawi. Dan gue yakin gue ga bersalah.
Abis gue tutup telepon keduanya, redaktur gue baru balas. Dia bilang, "biarin aja Nares, wartawan nggak boleh diintimidasi narasumber." Akhirnya redaktur gue nyeritain pengalaman dia yang puluhan kali ditelponin narasumber. Yang gue pikirkan adalah 'kalo narasumbernya ga pake ilmu gaib sih gapapa'
Redaktur gue ngeyakinin gue untuk jangan percaya takhayul dan selalu mengingat Allah.
Oke sip. Abis itu gue ambil wudhu. Tapi ga solat.
Gue malah main ke rumah Tasya. Dalam perjalanan ke rumah Tasya, ban gojek gue bocor.... JENG... JENG... #1 apakah ini sebuah ancaman?
Untungnya gue masih bisa nyampe ke rumah Tasya. Walaupun jalannya pelan.
Pas nyampe rumah Tasya, tiba-tiba ada telepon dari nomor ga dikenal.. JENG... JENG... #2 siapakah ini?
Gue sempet khawatir. Ngerinya, pas gue angkat yang diseberang telpon ngomong "Gimana peringatan pertama saya?" Lama ga gue angkat takut si Eyang yang nelpon kan. Akhirnya gue memberanikan diri untuk ngangkat telepon. Ternyata telepon dari bokap gue pake hp temennya.
Lega....
Keesokan harinya gue pulang liputan... dan ban gojek gue bocor lagi.. kali ini gue terpaksa turun tengah jalan... JENG JENG.. #3 apakah lagi-lagi ini pertanda?
Daaann... besoknya lagiii... ban gojek gue ga bocor tapi apakah Anda tau saudara saudaraaa siapa yang jadi abang gojek gueee?
JENG.... JENG... #4
Hingga JENG... JENG #4 Alhamdulillah aku ga kenapa-kenapa. Semoga jeng jengnya berakhir di #4 aja.
Ini cuma kebetulan aja kok. Yakin..
Ngakak dah, itu masih berlanjut gak kebetulannya? Kalo bisa di bikin series bagus keknya..
BalasHapusHaha Alhamdulillah hidup gue udah terasa tenang dan indah sekarang
Hapus